Lanjutan Artikel Syekh Puji dan Lutfiana


Pernyataan Lutfiana di media massa yang menyatakan ia tidak rela bercerai dengan Syekh Puji dan sesungguhnya ia menikah dan mencintai Syekh Puji tanpa adanya paksaan dari siapapun, telah membuat pihak-pihak yang menginginkan percerainnya menjadi sedikit lunak.

Tuntuan pembatalan pernikahan pun diganti dengan dikembalikannya Lutfiana ke rumah orang tuanya hingga ia berusia 16 tahun, usia dimana negara mengakui suatu pernikahan bagi perempuan. Namun hal ini masih menjadi ganjalan bagi Penulis sehingga tebersit tanya, mengapa pihak-pihak tersebut begitu tega memisahkan ikatan suami istri diantara keduanya. Apakah mereka lebih takut/patuh kepada hukum manusia dibanding azab tuhan bagi yang menentang hukum agama ? Jangan lupa, memisahkan atau menceraikan paksa antara suami istri yang SAH merupakan perbuatan keji dan DOSA, ya… DOSA !! dan neraka adalah ganjarannya.

Bukankah sebenarnya suatu pernikahan adalah untuk memenuhi perintah agama, oleh karena itu idealnya hukum pernikahan merujuk kepada hukum tuhan, dan bukan merujuk kepada hukum buatan manusia. Namun sayangnya sekarang ini hukum pernikahan diatur oleh manusia, sehingga yang terjadi bisa jadi suatu pernikahan sah menurut agama tetapi tidak sah menurut hukum negara, atau sebaliknya suatu pernikahan dianggap sah oleh negara meski dianggap HARAM oleh agama (merujuk kepada perkawinan sesama jenis yang diperbolehkan diberbagai negara dan mungkin juga sebentar lagi di Indonesia)

Untunglah perceraian antara syekh Puji dan Lutfiana dibatalkan, kalau tidak, siapa yang akan bertanggung jawab dengan masa depan Lutfiana dan siapa yang akan menafkahinya jika ia menjadi janda berusia 12 tahun akibat cerai paksa? Apakah pihak-pihak yang sok protes dan sok membela hak anak yang menuntut perceraian tersebut mau bertanggung jawab ???